Biografi Imam Husein bin Sayyidina Ali Ra
Imam Husein dilahirkan di Madinah, selasa 5 sya’ban 4 H / 584 M; ibunya
Sayyidah Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah SAW; Sedangkan
ayahandanya, Ali bin Abi Thalib adalah seorang tokoh terkemuka di awal
dakwah islam. Beliau dibesarkan oleh. Pasangan sejoli yang menerima
asuhan langsung dari Rasulullah SAW. Nama Husein merupakan tasghir
(“pengecilan”) dari nama kakaknya Hasan, yang dua-duanya berarti
“bahagia”. Beliau adalah cucu tersayang Rasullah.
Pernah suatu hari,
Rasulullah SAW menunaikan shalat dan sangat lama melakukan sujud. Bukan
hanya karena ingin lebih dekat kepada Allah SWT, melainkan juga karena
menjaga agar Husein dan kakaknya Hasan tidak terjatuh dari punggung
beliau. Ketika itu kedua cucunda tengah bermain-main di punggung
kakekanda yang mulia. Sungguh kasih sayang yang luar biasa. Nabi sangat
mencintai kedua cucunda, sehingga kehidupan mereka seperti kehidupan
malaikat; berada dalam naungan Allah SWT. Di masa kanak-kanak, mereka
mendapat ucapan-ucapan wahyu di lingkungan kenabian. Rasulullah SAW
memberi mereka pelajaran dan cara hidup islami. Sementara dari
lingkungan kedua orang tua, mengambil suri teladan yang mulia. Dalam
lingkungan yang mulia seperti itulah Hasan dan Husein hidup
berdampingan.
Abu Hurairah bercerita : “Rasulullah Saw datang kepada
kami bersama ke dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Yang pertama di bahu
beliau yang satu, yang ke dua di bahu beliau yang lain. Sesekali
Rasulullah menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada.
Kemudian beliau bersabda :
”Barang siapa mencintai keduanya (
Hasan dan Husein ) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci
keduanya berarti juga membenci daku”.
Pada hadits yang lain :
حسين منّى وانا من حسين, احبّ اللّه من احبّ حسينا, حسين سبط من الأسباط.
(
رواه التّرمذى )
“Husein
adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari diri Husein. Semoga
Allah swt mencintai orang yang mencintai Husein. Husein adalah salah
satu cucu diantara para cucuku”.
( HR. Turmudzi )
الحسن والحسين ريحنتاي من الدّنيا. ( رواه احمد,..)
“Hasan dan Husein adalah dua wewangian saya dari dunia.”
( HR. Ahmad, Ibnu Adi, Ibnu Asakir dan Turmudzi )
من سرّه ان ينظر الى سيّد شباب اهل الجنّة فتينظر الى الحسين. ( رواه ابو يعلى )
“Barangsiapa yang senang melihat junjungan ( Sayyid ) para penduduk surga, maka hendaklah ia melihat kepada Husein.”
( HR. Abu Ya’la )
“Ya Allah aku memohokan perlindungan kepadamu untuk Husein dan anak cucunya dari godaan syetan yang terkutuk.”
“Ahli Baitku yang paling kucintai adalah Hasan dan Husein.”
Pada
hari ketujuh kelahiran Sayyidina Husein, Rasulullah SAW menyembelih dua
ekor kambing kibas berwarna putih keabu-abuan sebagai aqiqah. Kemudian
beliau memberikan dua paha kambing itu kepada hadirin, lalu mencukur
rambut Husein serta menimbangnya dengan perak. Selanjutnya perak itu
disedekahkan kepada faqir miskin. Lalu beliau mengurapi kepala cucunda
dengan pacar, sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada Sayyidina
Hasan.
Sejak kecil Sayyidina Husein sudah menunjukkan bakat sebagai
ilmuwan, perajurit dan orang yang sholeh. Bersama kakaknya, bakat sang
adik kian berkembang, selama masa pemerintahan empat kholifah pertama.
Sifat mereka yang luhur mendapat penghargaan dan perhatian yang besar
dari para kholifah.
Kepribadian Imam Husein
Sayyidina Husein memiliki beberapa gelar. Yaitu :
• Az-Zaki ( yang suci )
• Ar-Rosyid ( yang cerdik )
• Ath-Thoyyib ( yang baik )
• Al-Wafi ( yang setia )
• As-Sayyid ( yang amat terhormat )
• At-Tabi’Limardlotillah ( yang mengikuti keridloan Allah swt )
• As-Sibth ( cucu Rasulullah )
Ulama
meriwayatkan bahwa Sayyidina Hasan adalah orang yang paling mirip
Rasulullah antara dada sampai kepalanya; sedangkan Sayyidina Husein
adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw antara leher sampai
bagian tengah badannya.
Berkali-kali Sayyidina Husein dan Sayyidina
Hasan naik di atas punggung Nabi saw, ketika keduanya sedang bercanda
ria bersama beliau. Bahkan seringkali hal itu dilakukan ketika Nabi saw
sedang bersujud di waktu shalat. Maka beliaupun tetap bersujud sampai
keduanya turun dari punggung beliau. Seorang penyair berkata :
“Siapakah di alam semesta ini orang yang bisa mendapatkan punggung Nabi Muhammad seperti Husein,
Ia berhasil mendapatkannya dengan jalan terpuji. “
Sayyidatuna
Fatimah Az-Zahra ketika mengunjungi Rasulullah saw, pada waktu beliau
sakit yang terakhir dengan ditemani oleh putranya Sayyidina Hasan dan
Husein. Ia berkata kepada Rasulullah saw :
“Ya Rasulullah ini adalah kedua putramu, maka berilah warisan keduanya.”
Rasulullah bersabda :
“Adapun Hasan maka ia mewarisi kedermawanan dan kewibawaanku, adapun Husein maka ia mewarisi keberanian dan keluhuranku.”
( HR. Ibnu Mandah, Thabrani, Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir )
Sayyidina
Husein adalah seorang ahli ibadah dan orang yang sangat ta’at, beliau
selalu berpuasa dan berqiyamul lail, dermawan, suka menyambung tali
persaudaraan, suka menolong orang yang minta tolong kepadanya dan tekun
menjalankan perintah tuhannya. Beliau adalah seorang yang sabar
menghadapi kesulitan, tabah menerima cobaan, tidak suka marah serta
bersedih hati dan tidak suka merasa cemas serta patah semangat.
Para
Ulama meriwayatkan bahwa suatu ketika putra Sayyidina Husein meninggal
dunia, namun beliau tidak merasa sedih. Maka orang-orang bertanya
kepadanya tentang hal itu. Beliau menjawab :
“Sesungguhnya kami para
Ahli Bait selalu meminta kepada Allah swt, maka Allah swt mamberi kami.
Lalu bilamana Allah swt menghendaki sesuatu yang tidak kami sukai,
sedangkan Allah swt menyukainya, maka kami pun merelakannya.”
Latar Belakang Syahidnya Imam Husein RaSesungguhnya
orang yang mau mempelajari peristiwa yang menyedihkan ini beserta
faktor-faktor pemicunya, tentu akan mengetahui bahwa tangan-tangan
bersembunyi yang berlumuran dengan darah-darah kaum muslimin serta
kepala-kepala penghianat yang menjadi biang perpecahan kaum muslimin,
mereka itulah sebenarnya yang telah memicu terjadinya kejahatan besar
ini dan yang telah melakukannya secara keji dan licik. Sebagaimana juga
mereka sebelumnya telah mengatur scenario pembunuhan terhadap Kholifah
Utsman bin Affan ra; setelah mereka berhasil menyebarkan berita-berita
bohong dan membuat surat - surat palsu dengan memakai nama Kholifah
Utsman ra, Sayyidina Ali kw serta nama-nama lainnya. Sehingga pada
akhirnya mereka berhasil membunuh Khallifah Utsman ra yang sedang
berpuasa dan sedang membaca Al-Qur’an. Beliau tidak mau dilindungi oleh
seorangpun dari kalangan para sahabat, agar tidak ada darah seorang
muslimpun mengalir gara-gara dirinya.
Dan mereka itulah yang telah
menyebabkan terjadinya perang Jamal. Lalu ketika kedua pihak yang sedang
bertikai sudah berdamai berkat usaha Qa’ba bin Amr; maka mereka
menyulut kembali api peperangan di pagi harinya dan mereka membunuh
Sayyidina Thalhah bin Ubaidillah, salah satu dari dari sepuluh orang
yang mendapat jaminan surga dari Nabi saw. Padahal Sayyidina Thalhah
ketika itu sedang berusaha meleraikan pihak-pihak yang saling
bermusuhan. Mereka juga membunuh Sayyidina Zubair yang sedang melakukan
Shalat sambil berdoa’ kepada Allah swt agar segera memadamkan api
peperangan yang sedang terjadi.
Mereka juga menghasut orang-orang
agar membunuh Sayyidatuna Aisyah ra, maka akibatnya ratusan sahabat
terbunuh. Dan mereka juga membunuh Ka’ab bin Sur Al ‘Azdi yang telah
mengangkat mushaf stas perintah Sayyidatuna Aisyah untuk menghentikan
peperangan diantara mereka.
Demikian juga provokasi keji yang telah
berhasil memicu terjadinya perang Shiffin, mereka menghalangi sampainya
berita-berita dan orang-orang yang berusaha menciptakan hubungan damai.
Setelah
berakhirnya peperangan serta diterimanya Tahkim dan setelah terbunuhnya
beribu-ribu nyawa para sahabat dan Tabi’in, maka terlihatlah
persekongkolan para dalang terjadinya kekacauan ini. Mereka adalah
komplotan Abdullah bin Saba’ seorang pendeta besar yahudi dari Yaman
yang masuk islam dengan tujuan menhancurkan islam dari dalam. Pada
mulanya ia benci kepada Kholifah Utsman bin Affan ra dan berusaha
meruntuhkannya serta menggantikannya dengan Sayyidina Ali kaw. Dengan
kelicikannya dan provokasinya, usahanya berhasil mendapat respon di
kota-kota besar ketika seperti kota Madinah dan Basrah. Kemudian dia
pergi ke Mesir, Kufah dan Damsyik serta beberapa kota lain untuk
menyebarkan propaganda tentang kemulyaan Sayyidina Ali kw dan menghasut
orang-orang agar tidak simpati kepada Kholifah Utsman bin Affan ra.
Abdullah
bin Saba’ sangat berlebihan dalam mengagungkan Sayyidina Ali kw, bahkan
berani membuat hadits-hadits palsu untuk menjatuhkan Kholifah Utsman ra
dan menghinakan Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq dan Sayyidina Umar bin
Khottob ra. Diantara ajaran Abdullah bin Saba’ adalah :
1.
Al-Wishoyah : Wasiat. Nabi Muhammad saw berwasiat supaya yang menjadi
kholifa sesudah beliau wafat adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan
mereka memberi gelar Sayyidina Ali “Al-Washyi”, yakni orang yang diberi
wasiat.
2. Ar-Roj’ah : kembali. Ia mengajarkan bahwa Nabi Muhammad
saw tidak boleh kalah dari Nabi Isa as. Kalau Nabi Isa as akan kembali
di akhir zaman, maka Sayyidina Ali kw akan kembali di akhir zaman untuk
menegakkan keadilan. Ia mengajarkan bahwa Sayyidina Ali kw tidak mati
terbunuh, beliau akan kembali lagi. Ibnu Hazm, seorang ahli tarikh
mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ mengabarkan bahwa Sayyidina Ali
belum mati tetapi masih bersembunyi dan akan kembali di akhir zaman.
Ajaran ini dibawanya dari kepercayaan kaumyahudi yang mengatakan bahwa
Nabi Ilyas juga belum mati. Ajaran inilah yang kemudian menjadi
kepercayaan orang Syi’ah, bahwa imannya yang terakhir belum mati,
sekarang masih bersembunyi dan pada akhir zaman nanti akan kembali untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran.
3. Ilahiyah : ketuhanan. Ajaran
ini mengatakan bahwa pada diri Sayyidina ali kw, bersamayam unsur-unsur
ketuhanan. Olek karena itu beliau mengetahui segala yang ghaib ( kasyaf
). Abdullah bin Saba’ mengangkat Sayyidina Ali kepada kedudukan Tuhan.
Seorang
Ulama dan pengarang dari kalangan Syi’ah Mu’tazilah bernama Ibnu Abil
Hadid mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ ini adalah seorang pendeta
Yahudi yang masuk Islam yang mengobarkan Syia’ah Sabaiyah. Diantara
pemuka Syi’ah Sabaiyah ini terdapat seorang bernama Muqiroh bin Said
yang memfatwakan bahwa Dzat Tuhan bersemayam pada tubuh Sayyidina Ali
kw. Seorang lagi yang bernama Ishak bin Zaid yang memfatwakan bahwa
orang-orang yang sudah sampai pada derajat yang tinggi, sudah habis
taklif baginya, yaitu sudah tidak lagi wajib sholat, puasa dan berbagai
kewajiban lainnya.
Nasib Abdullah bin Saba’ pada akhir hayatnya
menjadi orang buangan, yang dibuang oleh Sayyidina Ali kw stelah beliau
menjadi Kholifah keempat, beliau marah karena dia membuat fitnah atas
diri beliau, dia akhirnya dibuang ke daerah Madain.
Kelompok Abdullah bin Saba’ ini terpisah menjadi 2 ( dua ) kelompok besar, yaitu :
1.
Kelompok yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sayyidina Ali kw adalah
Allah sendiri yang menciptakan segala sesuatu dan memberi rizki. Dalam
hal ini, Sayyidina Ali kw mengajak mereka berdialog, namun mereka
ternyata bersikeras mempertahankan pendapatnya. Maka akhirnya Sayyidina
Ali kw membakar orang– orang yang diketahui dari golongan mereka dengan
api. Kemudian golongan mereka berkata : “Seandainya Ali bukan Allah itu
sendiri tentu ia tidak membakar mereka dengan api. Karena sesungguhnya
tidak akan melakukan pembakaran dengan api kecuali tuhan.” Mereka
berkeyakinan bahwa Ali akan menghidupkan mereka, setelah ia membunuh
mereka. Mereka inilah orang-orang yang membawa kepercayaan bahwa tuhan
melakukan penitisan kepada makhluknya ( Hulul ) beserta cabang-cabang
kepercayaan ini meliputi faham-faham yang sesat.
2. Kelompok yang
memberontak terhadap Sayyidina Ali kw setelah terjadinya perang Shiffin.
Mereka juga menuduh Ali Kafir, karena beliau telah menghentikan
peperangan dan menyetujui Tahkim dengan kitabullah dalam menyelesaikan
perselisihan yang terjadi Sayyidina Ali kw dan Muawiyah ra. Sebagian
dari mereka juga ada yang mengkafirkan ketiga orang Khalifah sebelum
Sayyidina Ali. Mereka ini telah membunuh seorang Tabi’in besar yang
bernama Abdullah bin Khobbab ra dan istrinya, karena ia memuji keempat
Khulafaur Rasyidin. Kemudian ketika Sayyidina Ali kw meminta agar mereka
menyerahkan para pembunuhnya, mereka menolak sambil berkata: “Kami
semua ikut membunuh mereka dan kami semua menganggap halal terhadap
darah-darah kalian dan darah-darah mereka semua.”
Gugur Syahidnya Sayyidina Husein ra
Ketika
Muawiyah memberontak, kekholifahan islam terbagi dua : satu di pimpin
Imam Ali, lainnya dibawah Muawiyah. Muawiyah adalah famili Kholifah
Usman bin Affan, yang sebelumnya menjabat gubernur Damaskus. Ia,
sebagaimana keluarga Sayyidina Utsman yang lain, mencurigai Sayyidina
Ali terlibat komplotan pembunuh Kholifah Ustman.
Ketika Imam Ali
syahid terbunuh, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju jenjang
kekuasaan. Demi keutuhan umat islam, Imam Hasan yang menggantikan
ayahandanya, berkompromi atau lebih tepat mengalah, dengan menyerahkan
kekuasaan kepada kepada Muawiyah. Tapi belakangan Imam Hasan justru
diracun hingga wafat pada tahun 50 H / 630 M; beliau meninggal setelah
diracun istri mudanya sendiri, Ja’dah binti Al-As’as, atas hasutan
kelompok Muawiyah, dengan janji akan mendapat hadiah 100.000 dirham.
Ketika
itulah banyak kalangan mendesak Imam Husein agar memberontak terhadap
Kholifah Muawiyah. Tapi, beliau hanya menjawab pendek,
“selama Muawiyah masih hidup, tak ada yang bisa diperbuat, karena begitu kuatnya kholifah itu.”
Di
lain pihak, Muawiyah tak terlalu khawatir mendengar isu pemberontakan
tersebut dari Gubernur Hijaz, Marwan bin Hakam. Ia bahkan minta Marwan
mendekati Imam Husein secara baik-baik.
Pada tahun-tahun terakhir
kekuasaannya sebagai kholifah; Muawiyah merobohkan sendi-sendi
demokrasi. Mengikuti saran Mughira, gubernur Basrah, ia mengangkat Yazid
sebagai penggantinya. Dengan pengangkatan ini, demokrasi dalam islam
menjadi monarki, karena Yazid tiada lain anak Muawiyah. Tindakan itu
juga melanggar perjanjian dengan Imam Hasan bahwa pengangkatan kholifah
harus melalui pemilihan yang demokratis.
“Dua orang telah
menimbulkan kekacauan di kalangan kaum muslimin : Amr bin Ash, yang
menyarankan Muawiyah mengangkat Al qur’an di ujung lembing, ketika
hendak berunding dengan Imam Ali; dan Mughira, yang menyarankan agar
Muawiyah mengangkat Yazid sebagai kholifah. Jika tidak, tentulah akan
terbentuk sebuah dewan Pemilihan”
kata Imam Hasan dari Basrah.
Yazid
naik tahta pada bulan April 683 M ( Muawiyah wafat tahun 60 H ). para
sejarawan menilai, Yazid ini tidak layak diangkat sebagai kholifah.
Bukan hanya terlalu mementingkan kehidupan duniawi, tapi juga karena dia
tidak terlalu dekat dengan ulama. Namun dengan licik, ia berusaha
memperkuat kekuasaan dengan cara minta sumpah setia dari para ulama,
termasuk Imam Husein, yang mewarisi keshalehan dan kesatriaan
ayahandanya, Imam Ali, tidak mudah dipaksa atau dibujuk dengan berbagai
hadiah. Secara bersama, tiga sahabat yang cukup berpengaruh, yaitu
Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair,
terang-terangan menolak Yazid.
Melalui walid bin Utba, gubernur
Madinah, Yazid memerintahkannya agar menyuruh seluruh penduduk Madinah
untuk membai’at Yazid. Mereka yang menolak pembai’atan Yazid, termasuk
Sayyidina Husein menyingkir ke Makkah. Selama menetap di Makkah,
Sayyidina Husein menerima kiriman surat-surat dari penduduk Kufah serta
utusan-utusan mereka. Para utusan ini meminta kepada Sayyidina Husein
agar beliau bersedia datang ke Kufah untuk menerima bai’at dari mereka.
Karena itulah Sayyidina Husein bermaksud mendatangi mereka; tapi
Sayyidina Abdullah bin Abbas dan Abdullah in Umar menasehati beliau agar
tidak mendatangi mereka, karena keduanya telah mengetahui sikap
orang-orang Kufah dan sebagian orang Iraq yang suka berkhianat. Namun
Sayyidina Husein ra berbaik sangka kepada orang-orang yang berkirim
surat kepadanya, maka beliau tetap ingin mendatangi penduduk Kufah.
Kemudian
berangkatlah Sayyidina Husein dari Makkah menuju Kufah pada hari
Tarwiyah, namun sebelumnya sepupunya yang bernama Muslim bin Aqil bin
Abi Thalib telah berangkat lebih dahulu. Akhirnya Sayyidina Husein
dibai’at oleh orang-orang Kufah sebanyak 12.000.orang. Akan tetapi
tidak berapa lama kemudian, mereka bercerai berai meninggalkan Sayyidina
HUsein ketika tindakan mereka ini diketahui oleh Ubaidillah bin Ziyad,
penguasa Kufah yang menjadi bawahan Yazid bin Muawiyah. Ubaidillah
kemudian menangkap Muslim bin Aqil dan membunuhnya.
Berita
terbunuhnya Muslim ini terdengar oleh Sayyidina Husein, ketika beliau
sampai di dekat Qadisiyah. Maka saudara-saudara Muslim berkata :
“Kita tidak akan kembali, sehingga kita menuntut balas terhadap kematian saudara kita Muslim bin Aqil atau lebih kita terbunuh.”
Lalu Sayyidina Husein berkata “
“Tidak ada lagi keuntungan hidup sepeninggal kalian.”
Dan
Sayyidina Husein memberitahu kepada orang-orang yang menyertainya
tentang peristiwa yang telah terjadi serta beliau mengumumkan bahwa
barangsiapa yang ingin pergi, maka hendaklah ia segera pergi. Maka
mereka segera memisahkan diri, sehingga Sayyidina Husein hanya ditemani
oleh sahabat-sahabatnya yang dating bersama dengan dirinya dari Makkah.
Mereka berjumlah 70 orang, diantaranya terdapat 30 orang berkuda. Ketika
itu Ubaidillah bin Ziyad telah mengirimkan komandan pasukannya yang
bernama Hushoin bin Tamin At-Tamimi disertai pasukan berkuda.
Hushoin
berhenti di Qadisiyah dan mengatur pasukan kudanya untuk mencegah
Sayyidina Husein agar tidak bergerak kemana-mana. Demikian halnya
Ubaidillah bin Ziyad juga mengirim 1000 orang pasukan berkuda yang
dipimpin oleh Hur bin Yazid At-Tamimi untuk menghadang Sayyidina Husein
ra agar tidak pulang meninggalkan tempatnya.
Maka merekapun dapat
menyusul Sayyidina Husein dan mereka berhenti dihadapannya. Peristiwa
ini terjadi tengah hari. Sayyidina Husein kemudian tampil berbicara
kepada mereka :
“Wahai para manusia, ketahuilah bahwa ini adalah
alasan saya kepada Allah swt dan kepada kalian, sesungguhnya saya tidak
akan mendatangi kalian seandainya surat-surat kalian dan orang-orang
utusan kalian dating ke tempat saya. Mereka telah menyatakan : Hendaklah
anda datang ke tempat kami, karena kami tidak mempunyai Imam. Semoga
lewat diri anda Allah swt menyatukan kami di atas petunjuknya. Dan saya
sekarang telah mendatangi kalian, karena itu bila kalian mau menepati
janji-janji kalian yang saya percayai kepada saya, maka saya bersedia
datang ke kota kalian. Dan bilamana kalian merasa tidak senang terhadap
kedatangan saya ini, maka saya siap kembali ke tempat asal mula
kedatangan saya.”
Mereka terdiam. Mendengar pernyataan Imam Husein,
Hur bin Yazid ragu. Nuraninya ingin membela Imam Husein, tapi ia
bimbang, mengingat kekuatan pasukan Ubaidillah bin Ziyad di Iraq.
Apalagi ia juga diperintahkan Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad,
untuk menggiring Imam Husein ke Karbala, sekitar 25 mil di timur laut
Kufah.
Kemudian salah seorang dari pihak Sayyidina Husein
mengumandangkan adzan, lalu dilaksanakan sholat dzuhur. Maka Hur bin
Yazid ikut sholat bersama Sayyidina Husein. Kemudian Hur kembali ke
tempatnya semula. Ketika Sayyidina Husein juga melaksanakan Sholat
‘Ashar. Kemudian beliau mendatangi mereka sambil berkata :
“Bila
kalian semua bertaqwa kepada Allah swt serta mengetahui haq seseorang,
tentu hal itu lebih membuat Allah swt ridho. Kami para Ahli Bait adalah
lebih utama untuk memimpin masalah ini daripada mereka-mereka yang
berjalan dengan sikap arogannya dan kedzolimannya. Karena itu, jika
kalian merasa tidak senang kepada kami dan kalian bersikap masa bodoh
terhadap haq kami serta pendapat kalian sudah tidak lagi seperti yang
pernah dibawa oleh surat-surat dan orang-orang utusan kalian kepada
saya, maka saya siap pergi meninggalkan kalian!”
Kemudian Sayyidina
Husein mengeluarkan dua wadah yang penuh berisi lembaran-lembaran surat,
lalu ia sebar di hadapan mereka. Kemudian Hur bin Yazid at Tamimi
berkata :
Sesungguhnya kami telah mendapat perintah bila kami sudah
bertemu anda agar kami tidak meninggalkan Anda, sehingga kami dapat
membawa Anda dating ke Kufah untuk menghadap Ubaidillah bin Ziyad.
Ketika
itu Sayyidina Husein mengetahui adanya suatu tipu muslihat serta
kebohongan yang besar. Lalu beliau mengajukan tawaran kepada Umar bin
Sa’ad selaku panglima pasukan Ubaidillah bin Ziyad, agar Umar membiarkan
Sayyidina Husein kembali ke tempat asalnya atau mereka membiarkan
Sayyidina melakukan jihad di jalan Allah swt atau mereka bersedia
membawa Sayyidina Husein pergi menghadap Yazid bin Muawiyah di Damaskus.
Mereka
menolak tawaran Sayyidina Husein ini, kecuali jika Sayyidina Husein
bersedia tunduk di bawah perintah Ubaidillah bin Ziyad. Dan tawaran
inipun ditolak mentah-mentah oleh Sayyidina Husein ra, karena tidaklah
pantas bagi seorang cucu Rasulullah saw serta putra dari seorang
Kholifah, untuk menyerahkan diri begitu saja. Beliau bertekad untuk siap
perang dengan berijtihad serta berkeyakinan bahwa dirinya sedang berada
di atas kebenaran dan sesungguhnya mereka berdiri di atas kebatilan.
Kemudian Sayyidina Husein ra berkata :
“Kami telah ditelantarkan oleh
para pengikut kami, karena itu barangsiapa diantara kalian yang ingin
pergi (meninggalkan kelompok kami ), maka hendaklah ia pergi tanpa ada
yang mempersalahkan dan tanpa mendapat kecaman dari pihak kami.”
Maka
kebanyakan dari para pengikutnya memisahkan diri dari Sayyidina Husein,
sampai akhirnya Sayyidina Husein hanya ditemani oleh keluarganya
sendiri dan sahabat-sahabatnya yang datang dari Makkah bersama dirinya.
Sayyidina Husein tidak ingin mereka berpihak kepada dirinya, kecuali
bila mereka mengetahui terlebih dahulu terhadap apa yang akan mereka
hadapi. Sebenarnya Sayyidina Husein telah menyadari, jika beliau
menjelaskan permasalahan yang beliau hadapi kepada mereka, tentu beliau
tidak akan ditemani selain oleh orang-orang yang benar-benar setia
menyertai dirinya untuk menghadapi kematian bersama-sama.
Sayyidina
Husein hanya ditemani oleh 70 orang laki-laki termasuk para pengikutnya
dari kalangan Ahli Bait. Sedangkan sebagian orang-orang yang
menyertainya dari golongan mereka yang menginginkan terjadinya kekacauan
sudah menggabungkan diri ke dalam pasukan Ubaidillah bin Ziyad, agar
diri mereka selamat dari ancaman maut di depan mata mereka.
Ketika
Sayyidina Husein bersama para sahabatnya ingin berangkat menuju ke
tempat asal mereka, mereka dihalangi oleh Hur; dan ia berkata kepada
Sayyidina Husein :
“Saya ingin membawa pergi anda menghadap
Ubaidillah bin Ziyad. Saya diperintahkan agar tidak meninggalkan anda,
sehingga saya dapat membawa dating ke Kufah. Karena itu, untuk sementara
waktu ambillah jalan yang tidak membawamu masuk ke Kufah. Dan janganlah
anda menuju Madinah, sehingga saya berkirim surat dahulu kepada
Ubaidillah bin Ziyad, sementara anda berkirim surat kepada Yazid selaku
atasan Ubaidillah bin Ziyad. Maka dengan cara ini, mudah-mudahan Allah
swt memberikan jalan keluar yang dapat memberikan anugerah keselamatan
dari cobaan yang menimpa saya berupa keterlibatan saya dengan urusan
anda.”
Maka Sayyidina Husein bergerak meninggalkan jalan Qadisiyah,
sedangkan Hur mengiringinya untuk mencegah Sayyidina Husein agar tidak
terus pulang.
Ketika telah tiba hari jum’at tanggal 3 Muharram tahun
61 h, datanglah Umar bin Sa’ad bin Abi Waqas dari Kufah dengan diiringi
4.000 orang pasukan berkuda. Pasukan ini kebanyakan terdiri dari
orang-orang yang pernah berkirim surat kepada Sayyidina Husein ra dan
orang-orang yang pernah membai’atnya. Kemudian Umar menyuruh seorang
utusan kepada Sayyidina Husein ra, agar menanyakan kepada Sayyidina
Husein tentang alasannya yang telah membawanya kemari, lalu Sayyidina
Husein berkata :
“Orang-orang kota kalian telah berkirim surat kepada
saya agar dating ke tempat mereka, maka saya melakukannya. Jika kalian
tidak senang terhadap hal itu, maka sesungguhnya saya siap pergi dari
tempat kalian.”
Kemudian Umar bin Sa’ad melaporkan hal itu kepada
Ubaidillah bin Ziyad; lalu Ubaidillah bin Ziyad mengirim perintah kepada
Umar agar ia memberikan tawaran kepada Sayyidina Husein untuk bersedia
membai’at Yazid; jika Sayyidina Husein mau melakukannya, maka kami akan
menentukan sikap kami terhadap terhadap Sayyidina Husein. Namun jika ia
tidak bersedia, maka halangilah Sayyidina beserta para pengikutnya dari
tempat air. Karena Sayyidina Husein menolak membai’at Yazid, maka mereka
menghalangi beliau beserta pengikutnya dari tempat air. Selama 4 hari (
7-10 Muharram ) rombongan Imam Husein kehausan. Itulah awal
kesengsaraan keturunan mulia Rasulullah SAW. Sampai-sampai hal itu
membuat Hur bin Yazid, salah seorang komando pasukan Yazid terharu.
Pada tanggal 10 Muharram 61 H / 641 M, ia menyaksikan Imam Husein yang
sangat sengsara, lunglai, kehausan dan kelaparan.
Umar bin Sa’ad dan
Sayyidina Husein berkali-kali mengadakan perundingan, lalu Umar
mengirimkan laporan kepada Ubaidillah bin Ziyad yang berbunyi :
“Perlu
diketahui bahwa sesungguhnya Allah swt telah memadamkan api kekacauan
dan menyatukan semua pandangan. Husein telah memberikan pernyataan
kepada saya yaitu ia akan kembali ke tempat asal mula kedatangannya atau
anda membiarkan ia mengambil posisi dilokasi tapal batas ( siap tempur )
atau ia boleh mendatangi Yazid untuk mengadakan perdamaian dengannya.
Dalam hal ini tentu akan membawa kepuasan bagi anda dan membawa
kemaslahatan umat.”
Kemudian Ubaidillah bin Ziyad menyuruh Syamir bin
Dzil Jausyan untuk datang kepada Umar dengan membawa surat yang isinya
meminta Husein agar tunduk di bawah perintah Ubaidillah bin Ziyad dan
memerintahkan agar Umar membawa Husein beserta para pengikutnya untuk
menghadap Ubaidillah bin Ziyad; bila Husein menolak maka ia harus
diperangi. Selain itu, Ubaidillah bin Ziyad telah berkata kepada Syamir :
“jika
Umar bin Sa’ad mau melakukan apa yang kuperintahkan, maka dengarkanlah
perintahnya; namun jika ia membangkang maka engkau mengambil alih
kepemimpinannya dan tebaslah leher Umar.”
Ubaidillah bin Ziyad di dalam suratnya juga berkata kepada Umar bin Sa’ad :
“Sesungguhnya
saya tidak pernah mengirimkan kamu kepada Husein, agar kamu
membiarkannya dan tidak pula supaya kamu memberinya harapan serta
memperpanjang kesempatannya dan tidak pula supaya kamu berlutut
dihadapanku guna memintakan pertolongan untuknya. Perhatikanlah, jika
Husein bersama para pengikutnya bersedia tunduk di bawah perintah, maka
hadapkanlah mereka kepadaku, lalu jika mereka menolak maka seranglah
mereka sehingga kamu dapat membunuh mereka semuanya dan cacahlah
tubuh-tubuh mereka, karena sesungguhnya mereka telah berhak menerima hal
itu. Kemudian jika Husein telah berhasil dibunuh, maka injaklah dada
dan punggungnya dengan kuda-kuda kalian karena sesungguhnya ia adalah
seorang yang melakukan tindakan makar, seorang pemberontak, perampok dan
orang dzolim. Jika kamu ( Umar ) sanggup melaksanakan perintahkami,
maka kami pasti akan memberimu balasan sebagai orang yang menta’ati
perintah dan jika kamu membangkang, maka tinggalkanlah pasukan kami
serta serahkanlah urusan ini kepada Syamir dan pasukan kami.”
Ketika
surat perintah ini diterima Umar bin Sa’ad, maka ia segera memberi
komando kepada pasukannya agar segera mempersiapkan diri. Peristiwa ini
terjadi setelah ashar. Dan Umar memberitahukan kepada Sayyidina Husein
tentang isi surat perintah dari Ubaidillah bin Ziyad; kemudian Husein
meminta penundaan kepada mereka sampai besok pagi. Ketika malam telah
tiba, maka Sayyidina Husein bersama-sama dengan para sahabatnya
menjalankan Qiyamul lail semalam penuh, mereka melakukan Shalat serta
beristighfar, berdoa’ dan bertadlarru’ kepada Allah swt. Kemudian ketika
Umar bin Sa’ad telah menjalankan shalat subuh pada hari sabtu ( riwayat
lain hari Jum’at, hari Asyura 10 muharam ) maka ia mulai melangsungkan
peperangan dan mengepung Sayyidina Husein dari semua penjuru. Sayyidina
Husein berseru :
“Wahai orang-orang Kufah, saya tidak pernah melihat
manusia lebih berkhianat daripada kalian semua; sungguh jelek kalian dan
sungguh celaka sekali, binasalah kalian……….binasalah……kalian telah
berteriak-teriak kepada kami, lalu kamipun mendatangi kalian, lalu
kalian cepat-cepat membai’at kami secepat lalat dan ketika kami telah
berada di tempat kalian, maka kalian langsung bertebaran menjauhkan diri
seperti laron-laron yang berhamburan. Kalian menghadapi kami dengan
hunusan pedang layaknya musuh-musuh kami yang tidak pernah menyebarkan
keadilan kepada kalian, padahal tidak ada dosa yang kami perbuat kepada
diri kalian, ingatlah….laknat Allah swt pasti menimpa orang-orang yang
dzolim.”
Kemudian Sayyidina Husein ra menyerang mereka dan
peperangan ini berlangsung sampai dhuhur; lalu Sayyidina Husein
menjalankan shalat. Kemudian setelah sholat dhuhur, beliau kembali
berperang, sedangkan kebanyakan dari para pengikutnya sudah habis
terbunuh. satu demi satu; sahabat, saudara, sepupu, kemenakan Imam
Husein wafat sebagai Syuhada dengan tubuh tertancap panah. Yang
mula-mula gugur ialah : Ali Akbar bin Imam Husein, Abdullah bin Ja’far,
Kasim bin Husein, seorang anak Muslim bin Aqil dan kemenakan Imam
Husein.
Yazid bin Harits bertempur membela Sayyidina Husein sampai
ia terbunuh. Hur bin Ziyad di pihak pasukan Umar bi Sa’ad akhirnya
membelot dan membela Sayyidina Husein, sambil berseru :
“Wahai putra
Rasulullah sw, saya adalah orang yang pertama kali bertempur melawan
kalian dan sekarang ini saya berada di pihakmu, mudah-mudahan saya bisa
mendapatkan syafaat dari kakekmu.”
Lalu ia berperang mati-matian
membela Sayyidina Husein sampai ia terbunuh dan akhirnya tinggallah
Sayyidina Husein bersama bayinya, Ali Al Asghar. Suatu saat Ali Asghar
berteriak-teriak kehausan minta minum. Sambil menggendong anaknya, Imam
Husein mendekati lawan, lalu menyampaikan nasehat. Pasukan Yazid
bukannya memberikan seteguk air, mereka justru memanah sang bayi yang
tak berdosa itu, sehingga mati syahid seketika.
Dengan perasaan campur
aduk, sedih dan marah, Imam Husein menggendong Asghar yang
berdarah-darah ke pangkuan ibunya, Syahr Banu. Ketika itulah beliau
tahu, ajalnya menjelang. beliau berperang melawan mereka sampai mereka
berhasil melemahkan beliau dengan luka-luka yang banyak dan beliau
merasa sangat kehausan, sehingga jatuh ke tanah, lalu seorang laki-laki
dari Kindah menyerangnya dengan pedang tepat mengenai kepalanya, maka
hal ini membuat darahnya mengalir; kemudian Sayyidina Husein mengambil
darah di kepalanya, lalu beliau tuangkan ke tanah sambil berkata :
“Ya
Allah bilamana engkau telah menahan pertolonganmu dari langit kepada
kami, maka jadikanlah hal itu untuk sesuatu yang terbaik buat kami dan
balaslah mereka-mereka yang dzolim ini.”
Sayyidina HUsein merasa haus
luar biasa, lalu ia mendekati tempat air untuk minum, tapi Hushain bin
Tamim langsung menyerangnya dengan anak panah tepat mengenai mulut
Sayyidina Husein, maka Sayyidina Husein berkata :
“Ya Allah bunuhlah Hushain dengan kehausan.”
(
Al Allamah Al Juhri berkata : akhirnya Hushain bin Thamim menerima
balasan azab berupa rasa panas di dalam perutnya dan rasa kedinginan di
punggungnya; sehingga didepannya harus diletakkan es dan kipas,
sedangkan di belakang tubuhnya dipasang tempat perapian. Ia
menjerit-jerit rasa panas, haus dan dingin. Jika ia minum, tetap tidak
merasakan kesegaran/hilang hausnya, walau minum banyak. Hal itu
mengakibatkan perutnya menjadi besar dan ia mati setelah beberapa hari
wafatnya Sayyidina Husein )
Ketika Sayyidina Husein ra merasa
tubuhnya lemah sekali dan tidak mampu bangkit lagi, dikarenakan
luka-luka yang banyak, maka beliau memanjatkan doa’ kepadaAllah swt :
Ya
Allah sesungguhnya aku mengadu kepadamu terhadap perlakuan yang
diberikan kepada cucu Nabi-Mu. Ya Allah hitunglah jumlah mereka dan
binasakanlah mereka semua serta janganlah Engkau menyisakan seorangpun
dari mereka.”
Ketika melihat keadaan Sayyidina Husein sudah lemah tak
berdaya, mereka menyerang Sayyidina Husein dari semua arah; Shor’ah bin
Syarik At Tamimi memukul telapak tangan kiri beliau dengan pedang,
kemudian Sinan bin Atsan An Nakha’i menusuk beliau dengan tombak, lalu
Syamir bin Dzil Jausan memenggal kepala Sayyidina Husein dan membawanya
kehadapan Ubaidillah bin Ziyad. Mereka juga menginjak-injak tubuh,
punggung dan dada Sayyidina Husein dengan kuda-kuda mereka seperti yang
telah diperintahkan Ubaidillah bin Ziyad.
Enam dari tujuh anak-anak
Imam Husein Syahid di padang Karbala, juga istri tercintanya, Syahr
Banu, salah seorang putri Khosru Yasdajird II dari dinasti Sasanid II,
Persia ( Iran ). Empat putranya : Ali Al Akbar, Ali Ausath, Ali
Al-Asghar, Abdullah; sedangkan tiga putrinya : Zainab, Sakinah dan
Fatimah. Seluruh anak Husein terbunuh, kecuali Ali Ausath yang
dibelakang hari terkenal sebagai wali, yaitu Ali Zainal Abidin bin
Husein. Dialah satu-satunya keturunan Rasulullah SAW yang selamat dari
pembantaian di Karbala.
Ketika pertempuran tak seimbang itu terjadi,
Ali Zainal Abidin tengah tergolek sakit di tenda. Beliau hanya ditunggui
bibinya, Zainab binti Ali, yang dengan gigih melindunginya ketika
beberapa orang anggota pasukan musuh menerobos masuk ke perkemahan yang
hanya ditunggui kaum wanita dan anak-anak.
Sayyidatuna Zainab berteriak lantang :
“Apakah kalian tidak menyisakan satu laki-lakipun dari keluarga kami?”
perajurit itu tertegun sebentar, kemudian berbalik arah meninggalkan tenda tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sementara
tubuh Imam Husein dimakamkan di Karbala, kepalanya dimakamkan dengan
penuh kehormatan di pemakaman Baqi, Medinah, di sisi makam ibundanya dan
kakaknya, Imam Hasan. Menurut riwayat lain, kepala Imam Husein dibawa
ke Mesir dan dimakamkan disana.
Ibnu Hajar memberitahukan sebuah
hadits dari suatu sumber yang diriwayatkan dari Ali, bahwa Rasulullah
SAW telah bersabda " Pembunuh Husein kelak akan disiksa dalam peti api,
yang beratnya sama dengan siksaan separuh penduduk dunia."
Abu Na'im
meriwayatkan bahwa pada hari terbunuhnya Sayyidina Husein, terdengar Jin
meratap dan pada hari itu juga terjadi gerhana matahari hingga tampak
bintang-bintang di tengah hari bolong. Langit di bagian ufuk menjadi
kemerah-merahan selama enam bulan, tampak seperti warna darah.
Sayyidina
Husein sungguh telah memasuki suatu pertempuran menentang orang yang
bathil dan mendapatkan syahidnya di sana. Menurut al-Amiri, Sayidina
Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Dan dari
keturunan Sayyidina Husein yang meneruskan keturunannya hanya Ali
al-Ausath yang diberi gelar 'Zainal Abidin'. Sedangkan Muhammad, Ja'far,
Ali al-Akbar, Ali al-Ashgor , Abdullah, tidak mempunyai keturunan
(ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya sebagai syahid di karbala).
Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab, Sakinah dan Fathimah.
Kekuasaan
Yazid dan keturunannya tidak lama. Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi
berhasil membunuh Ubaidillah bin Ziyad dan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqas
dan membunuh satu persatu para pembunuh Sayyidina Husein yang lainnya;
sehingga ia dapat menghabisi mereka semua.
Makam Imam Husein di
Karbala, sudah diziarahi sejak empat tahun setelah Imam Husein syahid.
Peziarah pertama pada 65 H / 654 M ialah Sulaiman bin Murad, salah
seorang ulama generasi awal asal Madinah. Menurut sejarawan Ibnu Asir
dalam kitabnya Al Kamil fi at-Tarikh li Ibn Asir, sejak 436 H / 1016 M
kedatangan para peziarah di Karbala semakin meningkat. Ketika itu
upacara ritual di Karbala mendapat dukungan dari seorang dermawan
bernama Ummu Musa, yang tidak lain adalah Ibunda Khalifah Al-Mahdi dari
Dinasti Abbasiyah ( 159-169 H/ 739-749 ).
Tapi lebih dari setengah
abad kemudian, Khalifah Mutawakkil ( 232-247 H / 812-827 M )
menghancurkan kubah makam Imam Husein pada tahun 236 H / 816 M, dan
menghukum berat para peziarah yang datang ke makam tersebut. Kebijakan
ini dibuat, hanya karena gara-gara kelompok syiah memberontak. Namun
sekitar satu abad kemudian, sebuah masyhad yang luas dengan kubahnya
dibangun disalah satu sudut makam Imam Husein. Sejak itu para peziarah
pun kembali ramai. Keramaian itu tak lama; dua tahun kemudian, Dabba bin
Muhammad As’adi, pemimpin sejumlah suku di ‘Ain tamr, tak jauh dari
Karbala, menghancurkannya kembali.
Tapi, pada tahun yang sama, 369 H /
949 M , penyangga Masyhad Husein diperkuat kembali oleh Addud bin
Abdullah dari Dinasti Bani Buwaihi. Pembangunan Masyhad itu diteruskan
dengan membangun tembok makam oleh Hasan bin Buwaihi. Pada bulan Rabi’ul
awal 407 H / 987 M, sekitar 38 tahun kemudian, bangunan utama dan
beberapa ruang Masyhad terbakar.
Tapi makam yang dianggap suci dan
keramat itu dibangun kembali. Setengah abad kemudian beberapa tokoh
datang berziarah. Mereka itu, misalnya Sultan Malik Syah dari Bani
Saljuk, yang berziarah pada tahun 479 H / 1059 M. kemudian Ghazan Mahmud
dari Dinasti Ilikh Khan, Persia, bersama ayahnya, Argun. Mereka sempat
membangun kanal untuk mengalirkan air sungai Eufrat ke Masyhad, yang
kemudian dikenal dengan nama Nahr Al-Huseiniyah, “air suci Husein”.
Sultan
Pasha Agung dari kekhalifahan Turki usmani ( 1520-1566 M ) sempat
memperbaiki kanal tersebut dan memperindahnya dengan taman. Sementara
Sultan Murad III ( 1574-1595 M ) pernah minta walikota Baghdad, Ali
pasha bin Alwan, membangun sebuah ruangan di Masyhad Husein. Kemudian
Radhiah Sultan Begum, putri Sultan Husein I dari Dinasti Safawi
(1694-1722 M) mempekerjakan 20.000 orang untuk memperluas Masyhad
Husein. Pada abad ke 18 M, Agha Muhammad Khan dari Dinasti Kajar
menghadiahkan kubah dan menara berlapis emas untuk makam Husein.
Kompleks
makam Imam Husein sangat luas, dua kali lapangan sepak bola. Di samping
makam itu terdapat makam Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, paman
Sayyidina Husein dan Hurr bin Yazid.
Kata-kata Mutiara Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib ra :
“Kebutuhan
orang-orang kepada kalian adalah merupakan nikmat-nikmat Allah swt
untuk kalian; maka janganlah bosan terhadap nikmat-nikmat Allah swt itu
sehingga ia akan pergi menjauhkan diri.”
“Orang yang berkeperluan
tidaklah berarti memuliakan dirinya dengan tidak meminta kepadamu, maka
dari itu muliakanlah dirimu dengan tidak menolak permintaannya.”
“Sabar
adalah mahkota, kesetiaan adalah harga diri, memberi adalah kenikmatan,
banyak bicara adalah membual ( omong kosong ), tergesa-gesa adalah
kebodohan, kebodohan adalah aib, berlebih-lebihan ( dalam berkata )
adalah kebohongan, berteman dengan orang yang ahli berbuat hina adalah
kejahatan dan berteman dengan ahli kefasikan adalah pusat prasangka
buruk.”
“Bilamana dunia dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga,
maka sesungguhnya pahala Allah swt adalah lebih berharga dan lebih mulia,
Bilamana tubuh ini dirawat hanya untuk menyambut kematian,
maka terbunuhnya seseorang dengan pedang di jalan Allah swt lebih utama.
Bilamana rizki adalah bagian yang sudah ditentukan,
maka sedikitnya keserakahan seseorang dalam berusaha adalah lebih baik.
Bilamana harta benda dihimpun hanya untuk ditinggalkan,
maka apakah gunanya seseorang pelit terhadap sesuatu yang pasti ia tinggalkan,”
“Bilamana dirimu digigit oleh kekejaman masa,
maka janganlah kamu mengadu kepada manusia.
Dan janganlah kamu meminta selain kepada Allah Tuhan yang Maha penolong, yang Maha Tahu dan yang Maha Benar.
Karena seandainya kamu hidup dan kamu telah berkeliling dari belahan barat sampai kebelahan timur,
maka tentu kamu tidak menemukan seorangpun yang mampu membuat orang lain bahagia atau sengsara.”
(Dikutip dari buku Ajarilah Anakmu mencintai keluarga Nabi saw, majalah Al Kisah No 04/Tahun III dan IV/Feb 2005 dan 2006. )